Senin, 17 Januari 2011

“Refleksi Pendidikan Karakter”


A. Latar Belakang
Tidak bisa dipungkiri bahwa dasar pendidikan merupakan dasar pengetahuan bangsa Indonesia yang tidak pernah berhenti untuk menyelenggarakan program pendidikan dalam keadaan bagaimanapun juga.
Tetapi tidak cukup hanya dengan pengetahuan yang tinggi saja perlunya pendidikan untuk pembentukan karakter yang erat kaitannya dengan pola berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas tiap individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Individu yang berkarakter baik adalah individu yang bisa membuat keputusan dan siap mempertanggungjawabkan tiap akibat dari keputusan yang ia buat.
Akhir-akhir ini pemerintah menaruh perhatian penuh terhadap Pendidikan Karakter. Pendidikan karakter merupakan bagian yang penting untuk membangun karakter manusia yang seutuhnya.
Dalam konteks kebangsaan, karakter erat kaitannya dengan pembentukan dan pengembangan watak bangsa, bukan hanya atas dasar ilmu pengetahuan saja tetapi merupakan kebudayaan bangsa dan karakter bangsa yang pada akhirnya bermuara untuk membanggakan bangsa. Pemerintah menyadari bahwa penyakit akut yang sedang dihadapi bangsa ini adalah masalah karakter. Ada yang salah dari kebanyakan pola tingkah laku orang-orang yang katanya berasal dari bangsa yang murah senyum. Moralitas seperti terlibas, Etika hanya sebatas rektorika dan Norma hanya sebatas mata kuliah perguruan tinggi.
Namun hingga saat ini keadaan bangsa kita masih mengalami kondisi yang yang tidak kondusif. Bahkan berkembangnya perilaku baru yang sebelum era global tidak banyak muncul, kini cenderung meluas, antara lain:
1.
Meningkatnya kekerasan di kalangan masyarakat
2.
Penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, cenderung tidak menggunakan kata baku
3.
Pengaruh peer-group (geng) yang kuat dalam tindak kekerasan
4.
Meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan narkoba, alkohol, dan seks bebas
5.
Semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6.
Menurunnya etos kerja
7.
Menurunnya disiplin waktu dan kerja
8.
Semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru/dosen
9.
Rendahnya rasa tanggung jawab individu dan warga negara
10.
Membudayanya ketidakjujuran
11.
Adanya rasa saling curiga dan kebencian di antara sesama manusia.
Beberapa fenomena yang tidak dapat dipungkiri dan tidak mungkin bisa dihindari pada masa ini tetapi bukan dalam arti tidak bisa diatasi, fenomena tersebut adalah sebagai berikut:
1.
Masa balita, pendidikan dan pengasuhan balita diserahkan kepada pembantu rumah tangga yang memberikan catatan kecil bahwa kurang memiliki cukup kemampuan sebagai pendidik.
2.
Masa anak-anak, peran pendidikan yang seharusnya dominan adalah orang tua dan para pendidik tetapi masih pula diserahkan kepada pembantu rumah tangga.
3.
Masa remaja, pembinaan remaja di luar rumah atau kelas diserahkan kepada masyarakat, yang ternyata kondisinya tidak kondusif bagi pengembangan karakter.
4.
Masa dewasa, integrasi masyarakat tidak menentu, tidak ada saling mempercayai (trust), kehidupan semu, tidak tulus, ABS (Asal Bapak Senang), budaya munafik, dll. Semenjak tahun 2009 pemerintah telah menggulirkan paradigma pendidikan karakter. Hal tersebut terjadi berkait dengan merosotnya nilai moral generasi penerus bangsa. Sebagai contoh kasus seperti yang dilakukan Artalyta Suryani, Gayus Tambunan, rekening gendut Polri dan lain-lain.
.
B. Pendidikan Karakter
Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif.
Dalam rangka menindaklanjuti Sisdiknas tersebut yang juga merupakan salah satu tujuan Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) yaitu: “Meningkatkan kualitas penyelenggaraan pendidikan yang kondusif bagi berkembangnya kemampuan intelektual, emosional, sosial, religius secara terpadu”. Maka para pemegang keputusan agar diselenggarakannya mata kuliah pendidikan karakter dengan implementasinya.
Sebagaimana dikehendaki agar memiliki manusia berkepribadian dan berkarakter sebagai implementasi akhir dalam pendidikan karakter maka dilakukan kunjungan kasih ke Panti Asuhan, sebagai suatu bentuk kepedulian dimana memberikan perhatian, kasih dan sayang yang tidak melulu berdasarkan teori belaka. Bentuk kepedulian tersebut diwujudkan berupa penanaman 8 buah pohon dan sumbangan dana relatif sedikit.
Pendidikan karakter adalah proses internalisasi budaya ke dalam diri seseorang dan masyarakat sehingga membuat orang dan masyarakat jadi beradab. Pendidikan bukan merupakan sarana transfer ilmu pengetahuan saja, tetapi lebih luas lagi yakni sebagai sarana pembudayaan dan penyaluran nilai-nilainya. Seseorang harus mendapatkan pendidikan yang menyentuh dimensi dasar kemanusiaan. Dimensi kemanusiaan itu mencakup sekurang-kurangnya tiga hal paling mendasar, yaitu:
1.
Affective (otak kanan) adalah yang tercermin pada kualitas keimanan, ketakwaan, akhlak mulia termasuk budi pekerti luhur serta kepribadian unggul, dan kompetensi estetis
2.
Cognitive (otak kiri) merupakan dimensi dasar kemanusiaan yang tercermin pada kapasitas pikir dan daya intelektualitas untuk menggali dan mengembangkan serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan
3.
Psychomotoric (psikomotorik) dimana tercermin pada kemampuan mengembangkan keterampilan teknis, kecakapan praktis, dan kompetensi kinestetis. Karakter bangsa terbangun atau tidak sangat tergantung kepada bangsa itu sendiri. Bila bangsa tersebut memberikan perhatian yang cukup untuk membangun karakter maka akan terciptalah bangsa yang berkarakter. Peran serta para pendidik baik formal maupun informal dapat memberikan pembangunan karakter kepada para peserta didik, maka akan tercipta pula peserta didik yang berkarakter.

C. Mengembangkan Pendidikan Karakter
1.
Sistem pendidikan yang diberlakukan terlalu berorientasi pada pengembangan otak kiri (cognitive) dan kurang memperhatikan pengembangan otak kanan (affective, empathy, dan feeling). Padahal, pengembangan karakter lebih berkaitan dengan optimalisasi fungsi otak kanan.
2.
Mata kuliah yang berkaitan dengan pendidikan karakter pun (seperti budi pekerti dan agama) ternyata pada prakteknya lebih menekankan pada aspek otak kiri (hafalan, atau hanya sekedar “tahu”). Banyak kita temui peserta didik nilai mata kuliah agama tinggi, akan tetapi peserta didik yang bersangkutan tidak mengamalkan ajaran agama tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Pembentukan karakter hendaknya dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan, serta melibatkan aspek “knowledge, feeling, loving, dan acting”. Pembentukan karakter dapat diibaratkan sebagai pembentukan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat.
3.
Pada dasarnya, peserta didik yang kualitas karakternya rendah adalah peserta didik yang tingkat perkembangan emosi sosialnya rendah, sehingga anak beresiko besar mengalami kesulitan dalam belajar, berinteraksi sosial, dan tidak mampu mengontrol diri. Mengingat pentingnya penanaman karakter di usia dini dan mengingat usia prasekolah merupakan masa persiapan untuk sekolah yang sesungguhnya, maka penanaman karakter yang baik perlu dimulai sejak anak usia dini/prasekolah.
4.
Selanjutnya dalam rangka “Membangun Bangsa Berkarakter Mengacu pada Nilai Agama” perlu melalui pengkajian, dan pengembangan karakter dengan fokus menanamkan 9 pilar nilai-nilai luhur universal :
(1)
Cinta kasih Tuhan dan alam semesta beserta isinya;
(2)
Tanggung jawab, Kedisiplinan, dan Kemandirian;
(3)
Kejujuran;
(4)
Hormat dan Santun:
(5)
Kasih Sayang, Kepedulian, dan Kerjasama;
(6)
Percaya Diri, Kreatif, Kerja Keras, dan Pantang Menyerah;
(7)
Keadilan dan Kepemimpinan;
(8)
Baik dan Rendah Hati; dan
(9)
Toleransi, Cinta Damai dan Persatuan. Seorang intelektual hendaknya berkarakter kenabian (berjiwa agama/nabi) dengan memiliki sifat-sifat yang bersumber kepada tiga aspek utama yang mana harus diberikan perhatian secara seimbang dalam diri manusia yakni hati, emosi, dan akal.
Sehingga mempunyai ciri karakter kenabian yang antara lain dapat disebutkan sebagai berikut:
1.
Sadar sebagai makhluk ciptaan Tuhan: Sadar sebagai makhluk ciptaan-Nya timbul ketika ia mampu memahami keberadaan dirinya, alam sekitar, dan kepada Tuhan. Hal ini dibangun dari nilai-nilai keimanan sebagai bagian penting dari proses membangun peradaban. Disinilah nilai-nilai keimanan dapat berperan penting dalam memberikan makna yang akan mengarahkan tujuan hidup manusia. Nilai-nilai keimanan keTuhanan inilah yang akan membimbing manusia menuju nilai-nilai luhur kemanusiaan.
2.
Cinta Kasih Tuhan: Orang yang sadar akan keberadaan Tuhan meyakini bahwa ia tidak dapat melakukan apapun tanpa kehendak Tuhan. Oleh karenanya memunculkan rasa cinta kasih kepada Tuhan. Orang yang mengasihi Tuhan haruslah dengan segenap hati, dengan segenap jiwa dan dengan segenap akal budi sehingga apa yang dilakukan dan diperbuatnya sesuai dengan kehendak dan perintah-Nya serta menjauhi larangan-Nya.
3.
Cinta Kasih Manusia: Didasarkan atas kasih Tuhan maka kasih adalah karunia Tuhan. Bahkan Tuhan menciptakan alam semesta ini karena kasih-Nya, sehingga Kekuatannya mampu melumpuhkan kesombongan diri dan kerendahan materi. Cinta kasih adalah abstrak yang hanya dapat dirasakan, yang pada hakekatnya manusia menghendaki cinta kasih yang abadi, sejauhmana kita dapat mengasihi sesama manusia seperti mengasihi diri kita sendiri didasari hal tersebut diatas maka cinta kasih dibagi menjadi 4 bagian yakni:
(1)
Agape: adalah perwujudan kasih yang paling tinggi derajatnya atau kasih yang paling sempurna dimana kasih yang lepas dari ketergantungan, kasih yang memang benar-benar murni dan tulus, kasih yang tanpa batas, kasih yang tidak berbalas yang sifatnya hanya memberi tidak mengharapkan balasan/pamrih. Agape merupakan kasih sejati, yang di dalamnya terkandung, sabar; murah hati; tidak cemburu; tidak sombong; melakukan hal-hal yang sopan; tidak dendam; kejujuran, perhatian, mengerti, pahami dan memahami orang lain; kesetiaan; percaya; komitmen pada ucapan dan janji. Kasih agape yang paling mutlak adalah kasih Tuhan kepada ciptaan-Nya. Sesungguhnya tidak ada kasih seperti kasih Tuhan kepada manusia tetapi bila hendak dibandingkan dengan kasih terhadap sesama manusia yaitu kasih seorang ibu kepada anaknya yang rela berkorban apapun demi kasih yang dimilikinya pada anaknya atau dalam kehidupan sosial pada masa lalu, agape difungsikan sebagai pengikat yang mempersatukan dan menyempurnakan. Agape seringkali disebut kasih yang agung, karena mampu meniadakan segala bentuk perbedaan yang dibangun manusia, permusuhan, pertantangan, pertengkaran, salah pengertian. Agape selalu berdampak pada perdamaian, damai sejahtera, dan ketenangan.
(2)
Philia: merupakan kasih yang luhur dan tumbuh dari hasil persahabatan bahkan persaudaraan yang mendalam sehingga menerbitkan rasa 'kami' atau 'kita'. Philia tidak hanya memikirkan keinginan untuk menuntut tetapi juga ingin memberi. Philia suatu kasih yang bermakna, melebihi sekadar bobot material. Cinta kasih terhadap sesama manusia yang didasarkan atas kebersamaan bahwa menyadari jika kita makhluk ciptaan-Nya yang merasakan dukacita dan sukacita bersama bilamana salah satu dari kita merasakannya maka semua merasakan hal yang sama. Philia mampu manjadikan seseorang besahabat dengan orang lain. Philia biasanya difungsikan atau digunakan dalam hubungan sosial dan persahabatan sehari-hari; diucapkan antar sesama sahabat atau teman karib. Tapi, di dalamnya juga terkandung saling memperhatikan, keterbukaan, perhatian dan setia kawan; toleransi serta solidaritas.
(3)
Storge: merupakan kasih yang luhur, hal ini timbul dan tumbuh oleh karena adanya ikatan dalam hubungan kekerabatan keluarga, ikatan marga, ikatan darah. Kasih ini terbatas pada lingkungan keluarga dan kerabat. Sehingga bersifat eksklusif (tertutup untuk kalangan sendiri), ada batas-batas etika yang harus dirahasiakan atau dilindungi yang hanya bisa diketahui oleh pihak keluarga. Secara positip, ikatan darah atau kekerabatan mampu menjadikakn sesama keluarga besar terpanggil untuk saling menolong dan memperhatikan satu sama lain. Akan tetapi, sebaliknya, secara negatif dapat menjadi salah satu faktor KKN serta terciptanya kerusakan sistem dan fungsi hubungan sosial, kerja, politik, dan lain-lain.
(4)
Eros: adalah cinta kasih yang bersumber pada daya tarik secara fisik merupakan kasih yang romantis dan erotis dengan penuh asmara atau kasih kepada lawan jenis kelamin, (tapi perlu diingat bahwa, ada juga orang memberlakukan eros untuk sesama jenis). Eros merupakan kasih karena daya tarik fisik, maka seringkali menjadi kata-kata yang tak bermakna, mudah diucapkan tapi tak konsekuen dengan ucapan. Bahkan, pada sebagian orang (terutama mereka yang dimabuk asmara), eros seringkali disalahmengerti sebagai agape. Seringkali kata cinta (eros) yang keluar dari mulut pacar, dimengerti sebagai agape. Akibatnya, banyak hal yang hancur berantakan karena kesalahan itu. Eros penting dan sangat diperlukan; tanpa eros maka manusia tak pernah bertambah banyak. Namun, eros harus diberlakukan dengan penuh tanggung jawab. Eros berguna dan penting sehingga kita bisa tertarik kepada lawan jenis. Eros muncul karena faktor biologis dan psikhologis pada manusia. Pada prinsipnya kasih eros ini baik sebab Tuhan sendiri yang memberikannya, agar kita dapat mengasihi pasangannya dengan kesetiaan terhadap pasangan yang telah Tuhan berikan kepada kita. Eros bukan sesuatu yang najis bila dipergunakan sesuai dengan kaidah-kaidah yang sudah ditetapkan menurut aturan main baik melalui hukum pemerintah maupun hukum agama. Tetapi cinta kasih eros dapat menjadi sumber dosa apabila dilepaskan dari prinsip-prinsip iman kepada Tuhan.
4.
Bermoral: Jujur, disiplin, mandiri, kontributif, saling menghormati dan menghargai, rendah hati (tidak sombong), loyalitas yang dapat diandalkan, senang membantu, peduli kepada sesama manusia (ketidakegoisan), kepekaan, merupakan turunan dari manusia yang bermoral.
5.
Bijaksana: Karakter ini timbul karena keluasan wawasan seseorang. Dengan keluasan wawasan, ia akan melihat banyaknya perbedaan yang mampu diambil sebagai kekuatan. Karakter bijaksana ini dapat terbentuk dari adanya penanaman nilai-nilai kebinekaan atau keanekaragaman pemikiran/pendapat manusia yang bervariasi. Sehingga karakter bijaksana ini diharapkan dapat memberikan keterpaduan pemikiran/pendapat manusia yang beraneka ragam dan bervariasi.
Pembelajar sejati: Untuk dapat memiliki wawasan yang luas, seseorang harus senantiasa belajar. Seorang pembelajar sejati pada dasarnya dimotivasi oleh adanya pemahaman akan luasnya ilmu Tuhan (nilai-nilai keimanan). Selain itu, dengan penanaman nilai-nilai bermoral dan nilai-nilai bijaksana tersebut di atas ia akan semakin bersemangat dan berdedikasi tinggi untuk mengambil kekuatan dari sekian banyak perbedaan dengan moral yang dapat dipertanggungjawabkan.

Mandiri: Karakter ini diakibatkan dari penanaman nilai-nilai humanisasi yaitu: “Setiap manusia pada hakekatnya setara di mata Tuhan kecuali ilmu dan ketakwaan yang membedakannya. Manusia diciptakan sebagai subjek yang memiliki potensi. Kemanusiaan yang adil dan beradab”. dan liberasi yaitu: “Pembebasan atas penindasan sesama manusia. Karenanya, tidak dibenarkan adanya penjajahan manusia oleh manusia. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Dengan pemahaman bahwa tiap manusia dan bangsa memiliki potensi dan sama-sama subjek kehidupan maka ia tidak akan membenarkan adanya penindasan sesama manusia. Darinya, memunculkan sikap mandiri sebagai bangsa

Tokoh/Pemimpin: Merupakan pembentukan karakter sebagai entitas dan identitas bangsa Indonesia yang sangat majemuk dimana seorang tokoh/pemimpin menjadikan teladan karakter tersebut yang berkontribusi besar dalam mewujudkan sepenuhnya potensi dan cita-cita dalam membangun kehidupan yang baik, yang bermanfaat bagi dirinya, orang lain, dan bangsanya dimana cerminan sebagai seorang tokoh/pemimpin untuk menjadi teladan bangsa yang membanggakan dan mengharumkan bangsa.

D. Penutup
”Pilar moral” yang dimiliki mengejewantahkan dalam diri seseorang sehingga ia menjadi orang yang berkarakter baik (good character) adalah jujur, sabar, rendah hati, tanggung jawab dan rasa hormat, yang tercermin dan terwujud dalam pribadi atau kesatuan organisasi/sikap yang harmonis dan dinamis.
Tanpa nilai-nilai moral dasar ini (basic moral values) yang senantiasa mengejewantah dalam diri pribadi kapan dan dimana saja, orang dapat dipertanyakan kadar keimanan dan ketakwaan. Ciri orang yang kuat imannya, antara lain:
1.
Secara tulus dia patuh pada Tuhannya;
2.
Dia tertib dan disiplin melaksanakan perintah dan menjauhi larangan Tuhan, secara ritual baik fisik maupun rohani;
3.
Memahami dan menghargai ajaran agama lain, sehingga tercipta kehidupan yang toleran;
4.
melakukan kerjasama dalam bidang kehidupan sosial. Dll. Pendidikan karakter hendaknya tidak hanya dilakukan di perguruan tinggi saja tetapi yang lebih mengena pada sasaran utamanya adalah diselenggarakan pendidikan karakter semenjak dini atau bahkan semenjak pra sekolah. Pendidikan dan pembentukan karakter bukan hanya sekadar teori belaka tetapi harus dilakukan dengan implementasinya agar menjadi suatu kebiasaan yang baik dan berlanjut terus menerus selama masih hidup, bilamana diibaratkan seseorang menjadi body builder (binaragawan) yang memerlukan “latihan otot-otot akhlak” secara terus-menerus agar menjadi kokoh dan kuat. Peran serta para pendidik baik formal maupun informal dapat memberikan pembangunan dan pengembangan karakter kepada para peserta didik, yang akan tercipta peserta didik yang berkepribadian dan berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar